Friday, May 13, 2016

Sebuah Ungkapan (1)

Bagaimanapun mengetuk nurani haruslah menggunakan nurani. Bagaimana kamu meminta seseorang untuk beradab dengan cara yang tak beradab? Bagaimana kamu meminta belas kasihan tetapi kamu melakukannya dengan penuh umpatan dan penghinaan?

Wednesday, July 8, 2015

Langkah-langkah Terakhir Masa Studi Sarjana (1) – Mengumpulkan Niat


Baiklah, mungkin ini sudah terlalu lama. Paling tidak sudah dua bulan berlalu sejak tulisan saya yang terakhir. Ini memang sudah memasuki saat-saat dimana ujung jalur untuk sebuah perjalanan menuntut ilmu yang dikenal dengan kuliah bagi saya dipijak. Masa-masa itu akan segera berakhir insyaAllah. Jadi, untuk saat ini saya akan sedikit berbagi pengalaman saya selama menapaki tahapan terakhir dalam sebuah masa studi sarjana (baca: skripsi).

Salah satu pengalaman yang mungkin bukan yang paling berkesan, namun menjadi tantangan terbesar adalah mengumpulkan kekuatan untuk memulai (baca: niat). Sering kali kita-kita  yang masih berjiwa muda ini memiliki banyak kesibukan dan kegemaran lain yang menjadi distraksi sehingga lupa akan tujuan hidup di dunia kuliah yang sebenarnya. Apa tujuan kuliah yang sebenarnya? Ya untuk lulus. Yang satu ini memang argumentatif. Akan tetapi setidaknya bagi saya, tujuan akhir dari kuliah adalah mendapat gelar sarjana apapun alasan ataupun pencitraan yang kita ajukan.

Sunday, May 3, 2015

Rapikan Lagi Meja Kerja Itu

150503-Kontrakan

Saya selalu mengira bahwa setiap orang memiliki meja kerjanya masing-masing. Seorang direktur punya meja kerjanya sendiri di ruangannya, seorang karyawan perkantoran memiliki meja kerjanya di kubikel-kubikelnya masing-masing, bahkan tukang becak memiliki meja kerjanya sendiri, ya, becaknya. 

Sering kali kita dapati meja kerja kita berubah menjadi tak seperti pada saat pertama kali ia ditata di ruangan atau tempat kerja. Seiring bergantinya detik demi detik, hari demi hari, meja itu seakan berubah menjadi semakin berantakan karena berbagai kegiatan yang sudah kita lakukan atau karena ada banyak "sisa-sisa pekerjaan" yang tertinggal. Mungkin tidak untuk semua orang, tetapi paling tidak sebagian dari kita mengalami. Pada saat itu, bekerja di sana menjadi tidak lagi nyaman atau bahkan kondisi berantakan meja kerja itu membuat kita malas sama sekali untuk bekerja.

Sekarang bagaimana kalau kita analogikan meja kerja itu sebagai kehidupan kita sendiri. Ya, kehidupan kita ibarat sebuah meja kerja yang kita berkarya di dalamnya setiap harinya. Beberapa dari kita mungkin pernah merasa kehidupan ini terasa sangat berantakan. Seperti meja kerja itu. Apabila perasaan itu muncul, maka itulah saatnya melakukan "pembersihan".

Tuesday, March 17, 2015

Sesuatu yang Harus Dilakukan Harus Dilakukan

150311-Kontrakan

Mengapa kita harus melakukan hal-hal kecil merepotkan seperti menyikat gigi dan berdoa sebelum tidur? Mungkin pernah terlintas di benak kita pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan mungkin menyangkut hal-hal yang lebih beragam. Setelah melakukan beberapa saat perenungan, ternyata memang hal-hal yang terkadang dianggap remeh dapat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan seseorang.

Kita ambil contoh kecil menyikat gigi. Bagi sebagian kita, mungkin kegiatan tersebut adalah kegiatan yang merepotkan dan tak berarti harus dilakukan setiap hari atau bahkan tak berarti sama sekali. Akan tetapi coba kita yang biasa menyikat gigi mencoba beberapa hari menghentikan kebiasaan tersebut. Mungkin orang-orang di sekitar kita akan mulai menjaga jarak saat berbicara dengan kita.

Satu lagi contoh yang lebih besar. Mengapa kita harus susah-susah menjaga pandangan, repot-repot membatasi pergaulan, dan tidak melampaui batas interaksi antar lawan jenis? Bukannya hal tersebut fine-fine saja? Toh kita bergaul bagaimanapun juga tidak masalah asalkan lawan bicara kita nyaman. Beberapa dari kita mungkin berfikir semacam ini. Akan tetapi pada kenyataannya batasan-batasan tersebut adalah yang membuat kita tetap kita. Ya, manusia.

Singkatnya batasan-batasan, aturan-aturan, dan rutinitas-rutinitas yang mungkin dianggap remeh tersebut adalah bagian dari kehidupan yang memanusiakan kita. Seperti pada kasus sikat gigi, kasus berlebihan dalam pergaulan pun terkadang si pelaku tidak menyadari bahwa "kemanusiaan" nya telah memudar. Hal tersebut baru ia rasakan ketika ada orang lain yang masih "manusia" melontarkan komentar: kok kamu sekarang seperti ini?

Begitulah, di alam yang diciptakan ini, kita sebagai ciptaan terikat dalam sebuah batasan-batasan. Entah batasan-batasan itu dalam bentuk kodrat maupun aturan. Setiap yang harus dilakukan harus dilakukan. Mungkin tidak muluk-muluk untuk pengembara akhir zaman seperti kita berharap untuk hanya sekedar bisa bertahan dalam status "pantas mendapat ampunan-Nya". Dengan menjaga puing-puing kemanusiaan yang terus tergerus oleh jeruji-jeruji kerusakan moral kita berharap paling tidak tidak termasuk golongan yang divonis mendapat kesengsaraan selamnya.

Wednesday, March 11, 2015

Bukan untuk Dikerjakan dalam Satu Malam

150228-Kontrakan

Proses perencanaan merupakan proses yang membutuhkan ketelitian dan tahapan-tahapan yang rapi dan tidak serampangan. Mulai desain konsep hingga menghitung jumlah sekrup dan harganya, didalamnya ada step-step yang harus dikerjakan dengan cermat. 

Membuat desain hingga muncul rencana anggaran biaya dengan nilai ratusan juta bahkan milyaran rupiah memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Melalui proses telaah dan revisi yang mungkin dapat berlangsung berkali-kali. Dalam setiap tahapannya pun membutuhkan kesungguhan dan konsentrasi maksimal. Itulah mungkin yang menyebabkan suatu perencanaan tidak maksimal apabila dikerjakan dalam semalam beberapa jam sebelum deadline atau dengan kata lain tidak "dicicil".

Mengutip sebuah ucapan dari Rian Prima H. yang kurang lebih seperti ini, " kita ini sebenarnya bisa menyelesaikan pekerjaan ini dengan maksimal. Tapi selalu saja waktu yang diberikan sangat terbatas. Jadi hasilnya hanya seperti ini (kurang maksimal/mentok di batas minimal)." Ini satu kasus.

Di kasus lain, kesalahan ada pada pelaku perencanaan. Terkadang perencana tidak cukup akurat memperkirakan kapasitas personil sehingga menerima terlalu banyak pekerjaan. Awalnya terlihat luang memang waktunya. Namun karena terlanjur banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, efektifitas di masing-masing pekerjaan pun menurun dan pada akhirnya harus berkejaran dengan waktu dan "whatsapp" dari kolega.

Jadi memang seperti itu, bahkan perencanaan pun membutuhkan rencana. Pemahaman yang menyeluruh tentang permintaan klien, kapasitas personil, dan ketersediaan waktu sangat diperlukan. Dan yang terakhir, komitmen pada jadwal dan target yang sudah ditetapkan.

Wednesday, February 25, 2015

Sebuah Awal untuk Sebuah Akhir

150216-Jalan Teknika Utara

Pagi ini jalan Teknika tampak penuh dengan kendaraan. Pemandangan yang tak biasa terlihat dalam dua minggu terakhir. Ini adalah sebuah isyarat bahwa libur semester yang sudah terhapus dari kamusku sejak beberapa waktu lalu telah berakhir. Menjadi sebuah isyarat pula bahwa semester baru telah dimulai. Sebuah hitungan mundur telah dimulai. Hitungan mundur untuk satu tahapan dalam kehidupan sehingga dapat dikatakan "lulus" dalam arti sebenarnya dan dapat benar-benar menginjak fase berikutnya. Saya yakin saya tidak sendirian dalam hal ini. Dan setiap orang melakukan yang terbaik sesuai kemampuannya.

Bismillah,
Semoga Allah memberikan kekuatan dan keteguhan bagi diri saya dan saudara-saudara saya yang sedang melalui tahapan akhir masa studinya dan diberikan hasil terbaik.

Lebih Bersyukur Lebih Baik

150223-Kontrakan

Seseorang telah mengucapkan sesuatu yang membuat saya heran. Dalam sebuah percakapan yang kurang lebih seperti ini:
A: Ah, andai saja saya tidak kehilangan laptop
B: Sudah, kita tetap harus bersyukur
A: Kamu kan tidak kehilangan laptop
...
Lalu si B mengingatkan bahwa selain dia, ada orang yang mengalami musibah yang mungkin saja lebih berat. Bukan segera sadar, bahkan si A mengeluarkan pernyataan yang terkesan meremehkan musibah orang lain.

Dalam hati saya berucap keheranan: Apa? Bagaimana dengan orang ini? Kok bisa muncul ucapan semacam itu? Lalu saya mencoba mengambil pelajaran dan merefleksikannya pada diri saya sendiri. Pernahkan saya menggerutu dengan apa yang Allah takdirkan kepada saya? Ternyata setelah diusut, selalu ada beberapa kesempatan yang diri ini merasa kurang puas dengan ketetapan dari Allah. Lalu apa penyebabnya?