Pernahkah suatu ketika kamu merasa sangat jengkel dengan
orang tuamu? Mungkin saat kamu sedang asyik dengan permainanmu, atau
kegiatanmu, mereka memanggilmu. Pernahkan kamu merasa adanya mereka seakan
tidak ada? Merasa keberadaan mereka tidaklah penting? Atau pernahkah kamu
merasa kebersamaan dengan mereka bukanlah suatu kegiatan yang produktif?
Sahabatku, janganlah begitu. Telah lupakah kamu siapa kamu? Siapa
mereka? Bagaimana awalmu? Bagaimana susah payah mereka? Coba kita renungkan
kembali keadaan kita. Dan keadaan mereka.
Dia yang melahirkanmu
Saya belum pernah merasakan melahirkan seorang anak. Ya,
tentu, karena saya seorang laki-laki. Akan tetapi, proses itu bukanlah sesuatu
yang sepele. Data ilmiah bagaimana proses itu, dan resiko menjalaninya sudah
bukan menjadi sesuatu yang layak dipertanyakan. Itu pada proses akhirnya engkau
lahir. Belum berbulan-bulan ibu mengandung kita. Membawa kita kemanapun ia
pergi. Ingat berapa berat badanmu saat lahir? Mungkin sekitar 3,5 kg. Bayangkan
beban itu menempel di perutmu, bukan dengan tangan. Dengan bagiann perut. Bukan hal
yang remeh.
Mereka yang mengajarimu
Ingatkah apa yang kita bawa saat lahir? Baju? Ensiklopedia? Atau
jurnal mutakhir? Sekali-kali tidak! Bahkan kita tak membawa apapun. Mereka,
orang tua kita yang menjadi sebab pengetahuan paling awal bagi kita hingga saat
ini. Apakah kamu mau meragukan kesabaran mereka mendidikmu hingga saat ini kamu
mampu membaca tulisan ini? Saya tidak pernah merasa itu sesuatu yang pantas.
Mereka adalah sebab diatara sebab yang mengatarkanmu sampai
ke tingkatanmu saat ini. Bahkan mungkin mereka adalah sebab terbesar yang Allah
kehendaki dalam menuntunmu sampai kepada pencapaianmu saat ini.
Akan tetapi bagaimana kita saat ini kepada mereka? Bahkan setitik
jasa ibu belum mampu kita balas. Namun terkadang dengan congkaknya kita
berkata, “Ah ibu” saat ibu menasihatkan nilai-nilai kehidupan. Atau “Bapak ini,
saya sedang sibuk. Mana sempat?” saat ia menanyakan kepulanganmu.
Terkadang kita bahkan mengatakan kalimat –yang menurut saya
kejam– kepada bapak ibu kita saat mereka menelfon kita, “Nak, kapan pulang? Kami
merindukanmu.”: “Pak, saya ini mahasiswa sibuk. Utusan rakyat. Kalau saya
pulang, waktu saya akan terbuang dengan sesuatu yang tidak produktif.” Sungguh
terkadang saya merasa bersalah juga dengan diri saya sendiri saat bapak
menelfon, “Le –panggilan untuk anak laki-laki di jawa- akhir pekan ini pulang
tidak?” dan harus menjawab “tidak” karena begitu banyak tugas yang menumpuk di
kampus. Sering terbersit di pikiran saya, siapa orang-orang kampus ini? Siapa orang
tua saya? Bapak ibu selalu ada meluangkan waktu untuk kita. Terutama ibu, 24
jam sehari 7 hari sepekan mereka meluangkan waktu untuk kita di awal-awal kehidupan kita. Namun bagaimana
kita? Meluangkan waktu dua hari dari tujuh hari dalam seminggu pun tak mau
(untuk yang mampu). Jadi bagaimana? Apa sebanding? Meskipun melihat wajah kita
dalam waktu 48 jam itu sudah terasa begitu menghibur mereka.
Yah, semua berpulang kepada bagaimana kita, apa kita, dan di
mana kita? Kalau saya ditanya, pasti saya ingin sekali tetap berada di sisi
mereka saat ini. Meskipun semuanya telah terlanjur terjadi. Alhamdulillah bapak
dan ibu msih ada di rumah. Dalam hati ini selalu, ingin cenderung untuk
memprioritaskan mereka. Selalu diri ini berbisik, “Kapan lagi? Pulanglah! Aku tidak
mau menyesal di saat tidak ada lagi tujuan untuk pulang di dunia ini. Saat sapaan
Pak dan Bu tidak lagi mendapat balas senyum hangat.”
No comments:
Post a Comment