Tuesday, April 23, 2013

Pulang



Pernahkah suatu ketika kamu merasa sangat jengkel dengan orang tuamu? Mungkin saat kamu sedang asyik dengan permainanmu, atau kegiatanmu, mereka memanggilmu. Pernahkan kamu merasa adanya mereka seakan tidak ada? Merasa keberadaan mereka tidaklah penting? Atau pernahkah kamu merasa kebersamaan dengan mereka bukanlah suatu kegiatan yang produktif?
Sahabatku, janganlah begitu. Telah lupakah kamu siapa kamu? Siapa mereka? Bagaimana awalmu? Bagaimana susah payah mereka? Coba kita renungkan kembali keadaan kita. Dan keadaan mereka.

Dia yang melahirkanmu
Saya belum pernah merasakan melahirkan seorang anak. Ya, tentu, karena saya seorang laki-laki. Akan tetapi, proses itu bukanlah sesuatu yang sepele. Data ilmiah bagaimana proses itu, dan resiko menjalaninya sudah bukan menjadi sesuatu yang layak dipertanyakan. Itu pada proses akhirnya engkau lahir. Belum berbulan-bulan ibu mengandung kita. Membawa kita kemanapun ia pergi. Ingat berapa berat badanmu saat lahir? Mungkin sekitar 3,5 kg. Bayangkan beban itu menempel di perutmu, bukan dengan tangan. Dengan bagiann perut. Bukan hal yang remeh.

Mereka yang mengajarimu
Ingatkah apa yang kita bawa saat lahir? Baju? Ensiklopedia? Atau jurnal mutakhir? Sekali-kali tidak! Bahkan kita tak membawa apapun. Mereka, orang tua kita yang menjadi sebab pengetahuan paling awal bagi kita hingga saat ini. Apakah kamu mau meragukan kesabaran mereka mendidikmu hingga saat ini kamu mampu membaca tulisan ini? Saya tidak pernah merasa itu sesuatu yang pantas.
Mereka adalah sebab diatara sebab yang mengatarkanmu sampai ke tingkatanmu saat ini. Bahkan mungkin mereka adalah sebab terbesar yang Allah kehendaki dalam menuntunmu sampai kepada pencapaianmu saat ini.

Akan tetapi bagaimana kita saat ini kepada mereka? Bahkan setitik jasa ibu belum mampu kita balas. Namun terkadang dengan congkaknya kita berkata, “Ah ibu” saat ibu menasihatkan nilai-nilai kehidupan. Atau “Bapak ini, saya sedang sibuk. Mana sempat?” saat ia menanyakan kepulanganmu.

Terkadang kita bahkan mengatakan kalimat –yang menurut saya kejam– kepada bapak ibu kita saat mereka menelfon kita, “Nak, kapan pulang? Kami merindukanmu.”: “Pak, saya ini mahasiswa sibuk. Utusan rakyat. Kalau saya pulang, waktu saya akan terbuang dengan sesuatu yang tidak produktif.” Sungguh terkadang saya merasa bersalah juga dengan diri saya sendiri saat bapak menelfon, “Le –panggilan untuk anak laki-laki di jawa- akhir pekan ini pulang tidak?” dan harus menjawab “tidak” karena begitu banyak tugas yang menumpuk di kampus. Sering terbersit di pikiran saya, siapa orang-orang kampus ini? Siapa orang tua saya? Bapak ibu selalu ada meluangkan waktu untuk kita. Terutama ibu, 24 jam sehari 7 hari sepekan mereka meluangkan waktu untuk kita di awal-awal kehidupan kita. Namun bagaimana kita? Meluangkan waktu dua hari dari tujuh hari dalam seminggu pun tak mau (untuk yang mampu). Jadi bagaimana? Apa sebanding? Meskipun melihat wajah kita dalam waktu 48 jam itu sudah terasa begitu menghibur mereka.

Yah, semua berpulang kepada bagaimana kita, apa kita, dan di mana kita? Kalau saya ditanya, pasti saya ingin sekali tetap berada di sisi mereka saat ini. Meskipun semuanya telah terlanjur terjadi. Alhamdulillah bapak dan ibu msih ada di rumah. Dalam hati ini selalu, ingin cenderung untuk memprioritaskan mereka. Selalu diri ini berbisik, “Kapan lagi? Pulanglah! Aku tidak mau menyesal di saat tidak ada lagi tujuan untuk pulang di dunia ini. Saat sapaan Pak dan Bu tidak lagi mendapat balas senyum hangat.”

No comments:

Post a Comment